Rabu, 23 Mei 2012 15:04:31 • Oleh : redaksi • Dibaca : 909
Sekilas model ini tampak lebih efektif, namun tidak demikian di lapangan. Untuk TPP triwulan pertama 2012 yang paling lambat harus diberikan pada April, hingga berakhir Mei ini masih saja ada yang belum menerima. Berdasarkan pengalaman Drs Supriyadi MPd, Kepala Bidang Fungsional Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kota Malang, meski tampak efektif sejatinya secara teknis model ini masih menyulitkan.
Sebabnya, pemerintah pusat –dalam hal
ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan- masih memegang kendali penuh.
Untuk guru penerima TPP, masih harus menunggu turunnya Surat Keputusan
yang teramat detil untuk diurus pemerintah pusat. Sudah begitu, data
penerima yang diputuskan kerap tidak sesuai dengan data yang dimiliki
oleh dinas pendidikan daerah. Akibatnya beberapa daerah menerima dana
TPP kurang dari jumlah penerima.
Itu belum ditambah dengan administrasi
di Kemdikbud yang terlalu lama. SK guru penerima pada setiap jenjang
menunggu dari setiap direktorat jenderal. Padahal bila daerah tidak bisa
mencairkan secara bersama, dimungkinkan muncul gejolak. Pak Pri, sapaan
akrabnya, mengusulkan sekalian saja urusan TPP ini diserahkan daerah.
Berikut penuturan Pak Pri kepada Mas Bukhin dan fotografer Rakmat Basuki
dari KORAN PENDIDIKAN.
Pada banyak daerah, TPP Triwulan pertama
2012 ini masih banyak yang belum cair, padahal harusnya April sudah
tuntas. Bagaimana dengan Kota Malang?
Untuk Kota Malang, Alhamdulillah, pada
April lalu TPP untuk guru yang sudah bersertifikat sudah kami transfer
ke rekening masing-masing. Hanya memang terjadi kekurangan jumlah dana
sebab dana yang diberikan dari Kementerian Keuangan tidak sesuai dengan
jumlah guru penerima yang sudah di SK kan oleh Kemdikbud. Jadi dengan
dana jumlah yang ada itu, dalam hitungan kami, baru mengkaver TPP untuk
dua bulan saja. Sedang untuk satu bulannya masih menunggu pencairan
tahap kedua dari Kementerian Keuangan.
Kenapa bisa terjadi perbedaan data jumlah penerima dan jumlah dana itu?
Kementerian Keuangan itu memberikan dana
untuk TPP berdasarkan data dari Kemdikbud. Itu pun masih dipengaruhi
oleh besaran persentase jumlah dana dekonsentrasi yang diberikan pada
daerah. Sudah begitu, data yang ada di Kemdikbud itu kadang tidak sesuai
dengan usulan yang sifatnya verifikatif dari dinas pendidikan di
daerah. Sehingga kerap ditemukan, di data Kemdikbud itu; guru yang sudah
pensiun dan meninggal masih tercantum. Begitu juga guru bersertifikat
yang berdasarkan evaluasi beban mengajar tidak mencukupi namun masih
mendapatkan TPP.
Berarti soal data guru penerima itu yang lebih valid harusnya yang diusulkan oleh Dinas Pendidikan di daerah?
Iya, sebab daerah yang tahu kondisi
gurunya. Seperti yang saya sebut tadi, guru yang pensiun dan guru yang
meninggal kan tidak langsung terupdate oleh pusat. Kemdikbud memang
punya data guru yang menerima sertifikat tapi perkembangannya tidak
tahu. Termasuk hasil evaluasi kinerjanya. Nah, hasil verifikasi itu yang
menjadi usulan meski kadang keluarnya tetap saja tidak sama.
Itu belum termasuk guru yang mutasi?
Kalau mutasi kan lebih gampang, orangnya
masih ada. Kalau pun beda satuan pendidikan, tinggal dikonfirmasi. Yang
repot itu kan yang sudah pensiun. Secara hukum sudah tidak berhak atas
TPP tapi di SK nya ada. Mereka kan bisa saja berfikiran; Ah,
jangan-jangan saya masih dapat, lha nama saya ada. Untuk yang begini
ini, biasanya kami minta guru itu menelusuri saja hingga ke pusat.
Selain soal jumlah dana yang kerap tidak
sesuai dengan jumlah yang diusulkan, kendala teknis lain yang
berpotensi memperlambat pencairan TPP itu seperti apa?
Kendala teknis itu lebih banyak ada di
Kemdikbud sendiri. Setiap guru penerima TPP itu kan namanya harus masuk
SK dari Kemdikbud berdasarkan jenjang pendidikannya. Nah, ada tiga
jenjang pendidikan berbeda dengan tiga direktorat yang berbeda pula
dalam memberikan SK. Ada direktorat PAUDNI (untuk guru PAUD dan TK), ada
direktorat pendidikan dasar (untuk guru SD dan SMP), dan ada direktorat
pendidikan menengah (untuk guru SMA dan SMK). Masalahnya tiap
direktorat ini selalu berbeda waktu dalam menerbitkan SK nya.
Apa kaitannya dengan pencairan?
Kami di Dinas Pendidikan tentu tidak
berani mencairkan setiap jenjangnya kalau tidak bersamaan, menunggu
semua SK itu turun dari tiga direktorat. Takut muncul gejolak. Bisa
dibayangkan kalau SK guru PAUD dan TK dulu yang turun lalu kami cairkan,
sementara jenjang yang lain masih belum tahu kapan SK nya? Bisa-bisa
kita dianggap mengendapkan dana itu di bank. Dianggap tidak adil.
Padahal tanpa SK itu, kita tidak bisa cairkan.
Seperti apa sebenarnya gambaran dari SK bagi guru penerima itu?
Sangat detil. Setiap guru yang namanya
ada di SK, itu sudah termuat semua identitas kepegawaiannya, identitas
setifikasinya, satuan kerja dimana dia mengajar atau bertugas, sampai
nomor rekening dan banknya. Bisa Anda bayangkan, Kemdikbud harus membuat
SK seperti ini untuk semua guru di Indonesia. Jelas butuh waktu toh.
Sudah begitu, daerah tidak diberikan data digital dari data-data ini
sehingga harus kerja ulang, ngetik lagi.
Berarti, meski niatan awalnya untuk
efektivitas, toh model pencairan lewat dana transfer daerah ini juga
tidak seefektif yang dibayangkan?
Sebenarnya bisa lebih efektif kalau
sekalian saja semua urusan yang terkait dengan pencairan TPP itu
serahkan pada daerah. Seperti yang saya sebut tadi, kendala teknisnya ya
seperti itu. Ada beban yang terlalu besar di Kemdikbud dalam
menerbitkan SK itu. Padahal datanya juga berasal dari daerah. Kenapa
tidak sekalian saja daerah yang membuat SK guru penerimanya? Nanti
daerah tinggal melaporkan itu ke Kemdikbud dan juga Kementerian
Keuangan. Atau bisa juga dibalik; urus saja semua yang terkait dengan
TPP ini oleh pemerintah pusat, termasuk transfernya. Jadi daerah tinggal
lihat saja. he he
Kalau menyerahkan sepenuhnya pada daerah, apa semua daerah siap?
Saya rasa secara teknis tidak ada
masalah. Sebab itu tadi, data guru itu kan yang punya daerah beserta
perkembangannya. Kalau pusat ragu, kan tinggal mendesain model
pengawasan dan pelaporannya. Dan satu lagi, soal besaran dana transfer
untuk TPP ini hendaknya jangan dikaitkan dengan persentase dana
dekonsentrasi yang menjadi bagian daerah.
Maksudnya?
Dana dekonsentrasi, termasuk untuk TPP,
itu setiap daerah kan berbeda. Bukan saja berdasar jumlah guru penerima,
tapi dipengaruhi juga oleh besaran pendapatan asli daerah yang
disumbangkan ke pusat dan juga alokasi dana APBD untuk pembangunan. Pada
daerah yang APBD nya banyak habis untuk belanja pegawai, kan
dekonsentrasinya kecil. Ini membuat daerah akan mensupport lebih besar
termasuk meminta dukungan pendanaan dari provinsi.(*)
Biodata
Nama : Drs Supriyadi MPd
Lahir : Trenggalek, 20 Desember 1959
Alamat : Jl Kiai Parseh Jaya 8 Malang
Pendidikan : SDN Bogoran Trenggalek
: SMPN Kapak Trenggalek
: SMPS Negeri Malang
: S1 PLS IKIP Malang
: S2 IPS Unikan Malang
Karir : 1982 Guru SMP Hudaya Malang
: 1988 Tenaga Lapang Dikmas Depdikbud Malang
: 1990 Penilik Dikmas Depdikbud Malang
: 1997 Kepala Depdikbud Kec Kedungkandang
: 2001 Kepala UPTD Sukun
: 2005 Kepala UPTD Klojen
: 2008 Kepala UPTD Blimbing
: 2010 Kasi Kurikulum Dikmen Diknas Kota Malang
: 2011 Kabid Fungtendik Diknas Foto Malang
Keluarga : 1 Istri, 3 Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar